Jakarta – Polemik Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 terus bergulir dan menuai beragam pandangan ahli. Salah satu kritik tajam disampaikan oleh Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, S.H., M.H., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Universitas Pasundan (Unpas). Menurutnya, putusan MK yang dianggap membatasi penugasan anggota Polri pada jabatan sipil justru menunjukkan kekeliruan dalam memaknai norma hukum secara utuh.
Dalam analisisnya, Prof. Pantja Astawa menegaskan bahwa peran Polri dalam struktur negara modern sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan militer, sehingga pembacaan terhadap Putusan MK harus ditempatkan dalam konteks yang tepat.
Perspektif Hukum Internasional: Polisi adalah Non-Combatant, Bukan Tentara
Menurut Prof. Pantja, hukum internasional secara tegas membedakan antara Tentara (combatant) dan Polisi (non-combatant atau civil combatant). Tentara disiapkan untuk perang dan pertahanan negara, sedangkan polisi dipersenjatai bukan untuk bertempur, melainkan untuk melumpuhkan kejahatan dalam konteks penegakan hukum.
“Dalam situasi perang sekalipun, polisi justru berada di garis terdepan melindungi masyarakat. Fungsi mereka adalah keamanan domestik, bukan peperangan,” ujarnya.
Ia menilai bahwa pengaturan jabatan sipil bagi polisi tidak dapat disamakan dengan TNI, karena keduanya memiliki basis hukum dan fungsi yang berbeda.
Perspektif Konstitusi: UUD 1945 Mengamanatkan Polisi Melayani Masyarakat dalam Berbagai Lini
Dirinya menjelaskan, posisi Polri memperoleh dasar konstitusional yang kuat melalui Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, yang menegaskan fungsi polisi sebagai penjaga keamanan, ketertiban, pelindung, pengayom, pelayan masyarakat, dan penegak hukum.
Ketentuan ini dijabarkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri, terutama Pasal 14 ayat (1) huruf k yang menyebutkan tugas kepolisian untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian.
Atas dasar itu, penugasan Polri pada jabatan administratif di kementerian, lembaga negara, maupun badan seperti BNPT, BNN, dan KPK sepenuhnya merupakan bagian dari tugas konstitusional Polri.
“Jabatan di kementerian dan lembaga adalah bentuk pelayanan administrasi, sedangkan jabatan di badan seperti BNPT dan BNN berkaitan dengan penegakan hukum. Semua itu justru bagian integral dari tugas pokok kepolisian,” jelasnya.
Perspektif Ilmu Perundang-undangan: Norma Tidak Bisa Ditafsirkan Secara Parsial
Prof. Pantja menegaskan bahwa dalam teori perundang-undangan, norma dalam satu undang-undang merupakan satu kesatuan sistemik. Karena itu, Pasal 28 ayat (3) tidak boleh dibaca secara terpisah dari Pasal 14 ayat (1) huruf k UU Polri.
Ia menilai bahwa pembacaan MK terhadap Pasal 28 ayat (3) secara terisolasi berpotensi menyimpangi prinsip dasar ilmu perundang-undangan.
“Memaknai norma secara parsial bertentangan dengan asas sistem norma. Karena itu, pemaknaan terhadap Pasal 28 ayat (3) harus diletakkan dalam relasi dengan seluruh norma lain dalam UU Polri,” tegasnya.
Lebih jauh, ia menambahkan bahwa apa yang diuji MK sebenarnya bukan norma konstitusionalnya, melainkan bagaimana norma tersebut diimplementasikan dalam praktik administratif penugasan Polri.
Prof. Pantja: Putusan MK Tidak Membatalkan Kewenangan Polri dalam Jabatan Sipil
Menurut Guru Besar tersebut, Putusan MK No. 114/PUU-XXIII/2025 tidak membatalkan norma Pasal 28 ayat (3), sehingga tidak menghapus kewenangan Polri untuk menduduki jabatan sipil sepanjang sesuai tugas pokoknya.
“Dari perspektif hukum, norma tidak berubah. Yang dibatalkan MK hanyalah frasa dalam penjelasan, bukan norma inti. Karena itu, dasar legalitas penugasan Polri tetap kokoh,” pungkasnya.




