Pentingnya Tim Transformasi Reformasi Bentukan Kapolri

Pembentukan tim transformasi reformasi Polri oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kembali menuai sorotan, khususnya karena tidak melibatkan masyarakat sipil. Kritik ini, jika tidak diletakkan dalam kerangka yang proporsional, berpotensi menimbulkan kesalahpahaman terhadap tujuan dasar dari keberadaan tim tersebut.

Faktanya, tim bentukan Kapolri bukanlah instrumen tandingan terhadap tim reformasi Polri yang dibentuk Presiden, melainkan sebuah mekanisme internal yang diperlukan untuk memastikan arah perubahan berjalan sesuai dengan kebutuhan riil institusi kepolisian.

Bacaan Lainnya

Reformasi Polri memang tidak bisa hanya dipandang sebagai agenda eksternal yang didorong oleh masyarakat atau pemerintah semata. Sebagai lembaga yang kompleks dengan kultur, struktur, serta beban operasional yang khas, Polri memerlukan instrumen internal untuk mendorong perubahan dari dalam.

Di sinilah posisi tim transformasi bentukan Kapolri menjadi signifikan. Tugasnya adalah melakukan evaluasi, merumuskan langkah-langkah strategis, dan mengawal pelaksanaan reformasi agar tidak berhenti pada tataran wacana, melainkan benar-benar membumi dalam praktik keseharian aparat kepolisian.

Untuk memperjelas posisi keduanya, tim bentukan Presiden dapat diibaratkan sebagai seorang dokter, sementara tim bentukan Kapolri adalah pasiennya. Seorang dokter hanya bisa memberikan diagnosa yang tepat, meresepkan obat, atau menentukan tindakan lanjutan apabila mengetahui secara rinci gejala yang dirasakan pasien.

Demikian pula dengan reformasi Polri. Tim bentukan Presiden berperan melakukan analisis, memberikan masukan, dan merancang terapi kebijakan. Namun yang paling memahami gejala, keluhan, dan hambatan internal yang dialami Polri hanyalah Polri itu sendiri.

Dalam hal ini, tim internal Kapolri adalah “pasien” yang menyampaikan informasi akurat mengenai kondisi tubuh organisasinya, sehingga resep reformasi yang diberikan tidak salah sasaran.

Ibarat seorang dokter yang tidak bisa bekerja dalam ruang hampa, ia membutuhkan kejujuran pasien untuk menceritakan apa yang sebenarnya dirasakan: rasa sakit, gejala kecil yang sering diabaikan, bahkan luka lama yang mungkin tak pernah diungkap. Tanpa itu semua, diagnosis bisa keliru dan pengobatan menjadi salah arah.

Begitu pula dengan reformasi Polri. Masyarakat, melalui tim bentukan Presiden, hadir sebagai dokter yang memeriksa dari luar, memberikan resep dan pengobatan yang tepat. Namun tanpa keterbukaan dan kesiapan pasien dalam hal ini tim internal Kapolri, reformasi hanya akan menjadi wacana di atas kertas. Sinergi keduanya adalah kunci agar penyakit lama yang menggerogoti tubuh Polri benar-benar dapat disembuhkan.

Perlu dipahami pula bahwa tim internal Kapolri tidak tumpang tindih dengan tim bentukan Presiden. Tim reformasi Polri bentukan Presiden bersifat eksternal dan inklusif, melibatkan berbagai unsur masyarakat sipil, akademisi, serta tokoh-tokoh independen untuk memberikan pandangan, masukan, dan kontrol dari luar.

Sebaliknya, tim transformasi bentukan Kapolri bekerja di lingkup internal, bersentuhan langsung dengan prosedur, regulasi, hingga kultur organisasi yang menjadi inti dari dinamika Polri. Dengan demikian, keberadaan keduanya justru saling melengkapi, bukan saling tumpang tindih.

Anggapan bahwa absennya keterlibatan masyarakat sipil dalam tim internal ini melemahkan legitimasi reformasi tidak sepenuhnya tepat. Keterlibatan masyarakat sipil sudah terwadahi secara resmi dalam tim bentukan Presiden.

Sementara itu, tim internal memang secara desain berorientasi pada perbaikan teknis dan manajerial di tubuh Polri sendiri. Membebani tim internal dengan keterlibatan publik justru akan membuat batas fungsi menjadi kabur dan menimbulkan risiko tumpang tindih yang kontraproduktif.

Yang jauh lebih penting adalah memastikan kedua tim ini bergerak selaras. Tim bentukan Presiden dapat berperan sebagai mata publik yang kritis sekaligus mitra strategis, sementara tim Kapolri menjadi tangan yang mengeksekusi gagasan reformasi ke dalam praktik organisasi.

Dengan adanya keseimbangan tersebut, reformasi Polri memiliki peluang lebih besar untuk berhasil, karena kritik, ide, dan tuntutan eksternal tidak hanya berhenti pada rekomendasi, melainkan direspon dengan langkah konkret di internal institusi.

Jika keduanya berjalan beriringan, maka tubuh Polri akan benar-benar pulih, bangkit lebih sehat, dan siap mengabdi sepenuhnya kepada rakyat.

Membaca keberadaan tim transformasi bentukan Kapolri semata-mata sebagai upaya menandingi tim Presiden adalah penyederhanaan yang keliru. Justru tanpa mekanisme internal yang kuat, reformasi akan kehilangan pijakan struktural dan terjebak dalam simbolisme.

Reformasi sejati hanya mungkin terjadi ketika ada sinergi antara dorongan eksternal masyarakat dan komitmen internal institusi. Dalam konteks ini, tim Kapolri bukan penghalang, melainkan penyeimbang yang memastikan agenda perubahan tidak menyimpang dari kebutuhan nyata organisasi kepolisian dan pada akhirnya tetap berpihak pada kepentingan publik.

R. Haidar Alwi
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *