Jakarta – Lingkar Studi Sosialis (LSS) selama ini menjual gagasan besar: melawan ketidakadilan, memberdayakan kaum tertindas, serta memperjuangkan kesetaraan sosial. Mereka berdiri atas retorika pembelaan terhadap rakyat kecil, melawan kapitalisme, dan menolak eksploitasi ekonomi. Namun ironisnya, justru mereka sendiri kini mempertontonkan praktik yang bertolak belakang dengan prinsip yang mereka serukan.
Pesan resmi yang dikirim admin Lingkar Studi Sosialis (087752795029) kepada calon peserta “Sekolah ABC Sosialisme” menyebutkan kewajiban pembayaran sebesar Rp600.000 per orang. Rinciannya:
* Biaya pendidikan : Rp200.000
* Buku & Koran Arah Juang : Rp150.000
* Iuran organisasi 1 tahun : Rp250.000
Untuk pembayaran transfer emoney ke DANA dengan nomor: 0895-3791-35489
Pertanyaan publik pun muncul: jika sosialisme selalu dikampanyekan sebagai gerakan rakyat, untuk kepentingan rakyat, dan tidak komersial… mengapa pendidikan sosialisme justru dipatok biaya?
Jika benar mereka memperjuangkan kaum miskin, apakah rakyat kecil harus terlebih dahulu membayar “tiket ideologi” untuk bisa ikut dalam perjuangan?
Lebih jauh, model pungutan ini terasa paradoksal. Di satu sisi, kapitalisme mereka kecam karena dianggap hanya menghisap rakyat demi keuntungan segelintir kelompok. Namun di sisi lain, praktik memungut dana “pendidikan” plus “iuran organisasi” tak ubahnya mekanisme komersialisasi gerakan. Ini membuka ruang kecurigaan:
Apakah ini murni gerakan idealis?
Atau sekadar kemasan ideologis untuk menggalang dana dari masyarakat dengan bungkus perjuangan kelas pekerja?
Jika sosialisme menolak sistem yang menindas, maka seharusnya akses pendidikan ideologi diberikan seluas-luasnya, bukan dibatasi nominal. Jika mereka mengaku membela kaum miskin, mengapa justru rakyat miskin harus kembali membayar mahal?
Pada titik ini, Lingkar Studi Sosialis perlu menjawab secara terbuka:
Untuk apa uang tersebut?
Digunakan transparan atau tidak?
Apakah benar-benar untuk perjuangan?
Atau sekadar menghidupi organisasi dan memperkaya segelintir elite kelompok yang bersembunyi di balik jargon “revolusi”?
Tanpa transparansi, praktik ini hanya akan memperkuat kesan bahwa sebagian kelompok aktivis hanyalah “borjuis baru berbaju ideologi”. Mengkritik kapitalisme, tetapi perilakunya tidak jauh berbeda: menarik uang, menciptakan hierarki, dan memanfaatkan kepercayaan publik.
Jika gerakan sosialisme ingin dipercaya, maka ia harus konsisten, tidak memeras rakyat atas nama perjuangan, serta tidak menjadikan ideologi sebagai komoditas.
Rakyat sudah cukup sering dimanfaatkan. Jangan biarkan “perjuangan atas nama rakyat” kembali menjadi alat untuk memanen keuntungan dari rakyat itu sendiri.
